Diskusi ini kita mulai dengan menengok sejarah karena sejarah
adalah “alat” yang penting untuk membangun pemahaman yang utuh dan menyeluruh.
Tanpa memahami sejarah suatu analisis akan tercerabut dari konteksnya, sehingga
sulit dipahami. Demikian juga memahami IPNU, juga tidak bisa lepas dari
kesejarahannya. Namun pemahaman yang dibutuhkan bukanlah pemahaman yang
kronologis semata, melainkan mencakup konteks sosial dalam setiap era,
respons-respons sosialnya, serta aliansi taktis dan strategis dengan organ
lain.
Dengan demikian membaca sejarah IPNU tidak bisa dilepaskan dari
pembacaan sejarah perjuangan pembebasan nasional, baik dalam masa penjajahan
maupun masa kemerdekaan yang diwarnai pergerakan mewujudkan cita-cita nasional
sampai era reformasi. Dengan kata lain dibutuhkan upaya untuk melihat IPNU
sebagai bagian dari sekian organ perjuangan kaum muda yang pernah ada di
Indonesia. Karena IPNU- berdialektika dengan organ-organ lain, maka menarik
untuk menempatkan sejarah IPNU dalam kancah pergulatan dan perjuangan
kebangsaan di antara organisasi-organisasi pemuda lainnnya.
Penelusuran ini menjadi esensial sebab peran kaum muda memiliki
catatan penting dalam sejarah sosial dan kebangsaan negeri ini. Peran kaum muda
dalam perebutan kemerdekaan, atau sebagai motor penggerak berbagai perubahan
sosial pasca-kemerdekaan, misalnya, terukir rapi dalam sejarah. Reformasi yang
telah bergulir di tanah air sampai penuntasan agendanya, tidak lepas dari
kepeloporan generasi muda.
Seperti telah tercatat dalam sejarah, penjajahan di tanah air
telah melahirkan gelombang pergerakan nasional yang besar. Untuk mengorganisir
perlawanan terhadap penjajah, lahirlah berbagai organisasi. Kesadaran
berorganisasi secara signifikan menemukan mumentumnya. Berbagai organisasi
bermunculan dalam atmosfir pergerakan perlawanan ini. Sebagian besar
organ-organ pergerakan itu dipelopori oleh kalangan muda. Budi Utomo (20 Mei
1908), Trikoro Darmo yang akhirnya berubah menjadi Jong Java, Sarekat Islam,
dll. Keberadaan Jong Java menginspirasikan lahirnya organ serupa di luar Jawa,
seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918),
Jong Batak Bond (1925), Jong Islamieten Bond (1925). Fenomena ini kemudian
ditangkap sebagai kecenderungan terhadap kebutuhan penyatuan organisasi kaum
muda dalam lingkup yang lebih luas (nasional).
Kristalisasi dari pergerakan yang berbasis lokal di atas,
terakumulasi dalam kelahiran Jong Indonesia di Bandung pada 27 Pebruari 1927
(hasil keputusan Kongres Pemuda I, 30 April 1926) dan Kongres Pemuda II pada
26-28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Jauh sebelumnya, pada tahun 1916, KH. Abdul Wahab Hasbullah
mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) di
Surabaya. Dua tahun kemudian (1918) beliau mendirikan organisasi sosial ekonomi
bernama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pada Pedagang). Di Ampel, Surabaya,
tahun 1919, berdiri madrasah yang bernama Taswirul Afkar (Pencerahan
Pemikiran). Organ-organ inilah yang
nantinya menjadi embrio Nahdlatul Ulama. Di berbagai daerah di luar Jawa
kemunculan organisasi pergerakan juga tak kalah ramai seperti Sumatera Tawalib,
Persis Perti dan Persatuan Muslimin
Tapanuli (PTM) yang kemudian bergabung dengan NU.
Setelah melalui pergulatan panjang, baik karena pengaruh
perkembangan global, nasional, maupun lokal, kalangan yang berlatar belakang
kultural sama itu akhirnya mendirikan NU, tepatnya pada 31 Januari 1926. NU
menjadi organ konsolidator bagi pergerakan yang berserakan di basis Islam
tradisonal. Makna kelahiran NU, menurut KH. HM Dachlan (Fillard: 1999:15),
berakar pada perjuangan antikolonial.
Pada tahun 1930 berbagai organ kaum muda melebur menjadi satu
dengan wadah Indonesia Muda (IM), yang dipelopori Pehimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI). Namun dalam perjalanannya, IM melemah dan mendorong kelahiran
organ lain seperti Soeloeh Pemoeda Indonesai (SPI) dan Pergerakan Pemuda
Revolusioner (PERPIRI). Semenjak era ini, dunia pergerakan mengalami kevakuman.
Penyebab dari kevakuman ini salah satunya adalah kebijakan represif kolonial
terhadap kaum muda pergerakan, seperti pembatasan hak berkumpul dan berserikat.
Puncaknya ditandai dengan pengasingan pemimpin-pemimpin pergerakan, di
antaranya Sukarno, Hatta dan Syahrir.
Sebuah era baru dimulai, yakni perjuangan yang lebih berkarakter
kultural seperti lahirnya studieclub, yang memilih melakukan aksi-aksi
penyadaran masyarakat tentang pentingnya pergerakan, persatuan, pendidikan,
melalui surat kabar atau majalah seperti Soeloeh Rakyat dan Soeloeh Indonesia.
Setelah ada perubahan situasi, terjadi transformasi format
perjuangan menuju karakter yang lebih politis. Algemeene Studieclub-nya
Soekarno berubah manjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan PNI pada tahun 1927.
Aktivis Budi Utomo mendirikan Partai Indonesia Raya (PARSINDRA). Muncul juga
Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO), yang berpuncak pada terbentuknya Gabungan
Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939.
Demikian juga pada masa pendudukan Jepang. Meskipun menjajah dalam
waktu yang sangat singkat, namun kebijakan Jepang lebih represif. Jepang
memberangus organ pergerakan yang telah ada. MIAI yang memiliki watak antikolonial
diganti dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Akhirnya NU sebagai
organisasi terbesar disubordinasikan dalam MIAI.
Singkat cerita, perjuangan pembebasan kolonial akhirnya mencapai
titik kulminasi dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ratusan partai
politik menjamur untuk ikut dalam kontes politik. NU sebagai organisasi
terbesar juga masuk gelanggang politik dengan bergabung pada partai Masyumi.
Pilihan ini dilakukan sebagai bentuk perjuangan lewat jalur struktural. Politik
NU senantiasa diwarnai dengan dinamika dan tidak ada blue-print yang
baku. Dialektika sejarah memaksa NU keluar dari Masyumi pada tanggal 15 April
1952. Deklarasi ini menjadi babak baru kehidupan politik NU.
Meski Indonesia telah merdeka, namun bukan berarti agenda
perlawanan telah selesai. Sebab imperialisme tetap menjadi musuh besar karena
berbagai agresi tetap dilancarkan. Karena itulah partai politik dan organisasi
massa tetap menjadi agen penting dalam upaya pembebasan nasional, termasuk
ormas pelajar dan kepemudaan.
Mengiringi menjamurnya parpol, di wilayah lain juga tumbuh
berbagai organisasi sosial kaum muda dan mahasiswa. Perkumpulan Pemuda Kristen
(PPKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Gerakan Mahasiswa Sosialis (Germasos) berdiri. Begitu juga di lingkungan
NU. Jauh sebelum itu, generasi muda NU tekah memiliki kesadaran pergerakan.
Kesadaran kolektif ini termanifestasikan dalam berbagai organ yang tumbuh di
basis-basis NU. Bisa dicontohkan, di Surabaya telah berdiri organ pelajar Tsamrotul
Mustafidzin pada 11 Oktober 1936, Persatoean Santri NO (Persano) pada 1939;
di Malang berdiri Persatoean Moerid NO (PAMNO) pada 1941; di Madura berdiri Ijtimauth
Tholabiyyah pada 1945; di Sumbawa berdiri Ijtimauth Tholabah NO pada
1946; di Kediri berdiri Persatuan Pelajar NO (Perpeno) pada 1954; di Medan
berdiri Ikatan Pelajar NO (IPENO) pada 1945; Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama
(IMNO) pada tahun 1945; Subbanul Muslimin yang berdiri di Madura, serta masih
banyak lagi.
Hanya saja organ-organ tersebut belum terkonsolidir secara
nasional, sehingga corak dan watak gerakannya masih bersifat lokal. Yang
menyatukan mereka adalah imajinasi kolektif yang dibentuk dari tradisi
keagamaan Sunni yang sama. Pada titik inilah muncul kepeloporan gerakan yang
hendak membangun jembatan pergerakan antar-organ tersebut. Maka tampillah M.
Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida
(Semarang) yang membawa gagasan progresif ini untuk disampaikan pada Konbes PB
LP. Ma’arif di Semarang pada Pebruari 1954. Gayung bersambut, sehingga gagasan
ini diakomodir untuk dijadikan agenda pembahasan. Akhirnya Konbes Ma’arif
Semarang tersebut mengesahkan berdirinnya organ Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) pada tanggal 24 Pebruari 1954/ 20 Jumadil Akhir 1373 H.
Setelah resmi berdiri, IPNU melakukan konsolidasi melalui
Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954
dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan
Kediri. Konferensi ini berhasil merumuskan asas organisasi (Aswaja), tujuan
organisasi, yakni mengemban risalah Islamiyah, mendorong kualitas
pendidikan, dan mengkonsolidir pelajar. Konferensi ini menetapkan M. Tholhah
Mansoer sebagai Ketua Umum pertama.
Hasil konsolidasi ini lalu dibawa dalam muktamar NU ke-20 di Surabaya, (9-14
September 1954). Dan dalam Muktamar itulah IPNU disahkan oleh PBNU sebagai
satu-satunya organisasi pelajar putra dalam naungan Nahdlatul Ulama.
Mulai saat itulah, sejarah pergerakan pelajar NU telah dirorehkan.
Keberadaannya mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, lambang
kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan dehumanisasi. Tradisi itu seperti telah
terlihat dalam sejarah, telah tumbuh sejak lama. Kalaupun pada tahun 1954 baru
lahir, hal itu haruslah dimaknai sebagai semata-mata formalisasi dan
institusionalisasi perjuangan agar lebih terorganisir, terprogram dan
terkosolidir secara nasional.
Dari Kongres ke
Kongres: Menapaki Jalan Terjal
Konsolidasi berikutnya dilakukan dalam Muktamar (sekarang disebut
Kongres) I di Malang pada 28 Pebruari-5 Maret 1955, yang diikuti tidak kurang
dari 30 cabang dan beberapa utusan pesantren. Muktamar ini menjadi pijakan
penting karena salah satu keputusan pentingnya adalah legalisasi organisasi. Pada
perhelatan ini jugalah IPPNU lahir, tepatnya pada 2 Maret 1955
Pada era ini Indonesia dilanda instabilitas politik. Kondisi ini
disebabkan pertarungan ideologi antarkekuatan partai politik dan diperparah
dengan keterlibatan militer dalam panggung politik. Konflik politik dan
ideologi dalam pentas nasional di atas merembes pada semu organ underbow
parpol. Kondisi ini memaksa organ-organ muda pun terbelah dalam pertentangan
ideologis sesuai dengan afiliasi politik maisng-masing. Garis front kiri dan
front kanan dalam organ kaum muda kian jelas. Perpecahan terjadi antara
GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dan Gerrmasos. HMI berafiliasi ke Masyumi, GMNI ke PNI,
Germasoso ke PSI, dan IPNU serta neven-neven NU lainnya berafiliasi ke Partai
NU.
Dalam pergolakan itulah IPNU terus meniti garis perjuangannya
sambil terus malukukan konsolidasi internal. Setelah berjalan dua tahun,
Muktamar II IPNU dan Muktamar I IPPNU diselenggarakan di Kota Batik Pekalongan
pada 1-5 Januari 1957. Kebijakan-kebijakan strategis yang dirumuskan dalam
muktamar ini antara lain konsolidasi organisasi, pengembangan cabang-cabang ke
luar Jawa dan pondok pesantren. Sejak muktamar ini penataan organisasi dan
pengembangan cabang-cabang dicanangkan.
Muktamar III dan II dilaksanakan di Cirebon pada 27 Desember 1958
- 2 Januari 1959. Krisis politik dan ekonomi menjadi salah satu bahan
pembahasan. Pengembangan cabang masih menjadi prioritas. Juga diputuskan
penerbitan buku panduan organisasi, administrasi dan pola kerja organisasi.
Muncul gagasan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi sebagai respons atas
desakan pendirian IMANU. Kepengurusan hasil Muktamar Cirebon ini dalam
perjalanannya memiliki dinamika dan mencatat peran sejarah tersendiri. Salah
satu keputusan munomentalnya adalah IPNU telah membidani lahirnya Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organ khusus mahasiswa di kalangan NU.
Dua tahun setelah itu dilaksanakan Muktamar IV IPNU pada 11-14
Pebruari 1961 di Yogyakarta. Muktamar ini menghasilkan 9 program kerja dan
rekomendasi, pemantapan pendirian PMII, penggantian istilah Muktamar menjadi
Kongres, finalisasi lambang IPNU dll.
Kongres V/IV dilaksanakan di Purwokerto pada Juli 1963 masih dalam
setting instabilitas politik dan ekonomi. Situasi ini meuntut peserta kongres
merespons dalam agenda-agenda sidang yang kemudian menjadi rekomendasi. Dalam
kongres ini diputuskan peneguhan menyebutan NU dalam IPNU untuk selamanya. Hal
ini dilakukan karena muncul gagasan kontroversial untuk menghilangkan kata “NU”
dalam akronim “IPNU”.
Kongres VI/V dilaksanakan di Surabaya pada 20-24 Agustus 1966.
penyelenggaraan kongres ini berada di tengah situasi politik dalam negeri
sedang panas-panasnya. Sebagai respons atas situasi ini IPNU mengkonsolidir
“sayap militer”nya yaitu Corp Brigade Pembangunan (CBP). Respons politik
diberikan oleh IPNU-IPPNU bukah hanya dengan pernyataan sikap, melainkan juga
dengan aktif turun ke jalan. Melalui
kongres ini dirumuskan penguatan organ dengan sebutan gerakan penguatan
ranting, perencanaan pelatihan, pembinaan kader dan sosialisasi Aswaja. Dalam
kongres ini pula IPNU merumuskan sistem pendidikan NU. Di samping itu juga
diputuskan kantor pusat IPNU pindah dari Yogyakarta ke Jakarta.
Kongres berikutnya, Kongres VII diselenggarakan di Semarang pada
20-25 Agustus 1970. Kongres ini merupakan yang pertama dilaksanakan pada masa
Orde Baru. Selain berbagai keputusan internal, seperti ikrar tentang IPNU
sebagai satu-satunya organ santri dan pelajar NU, kongres juga memberikan
respons politik terhadap perkembangan dalam atmosfir politik berkaitan dengan
konsolidasi Orba yang mulai menunjukkan watak otoritarian-birokratiknya.
Kongres ini juga mengkritisi militerisme, desakan menaikkan anggaran pendidikan
sampai 25% dari APBN.
Kongres VIII diselenggarakan agak terlambat sebagai implikasi
penjinakan yang dilakukan oleh Orde Baru. Secara sistematis Orba melakukan
pengebirian terhadap ormas dan meluncurkan kebijakan penyeragaman ideologi,
depolitisasi dan deideologisasi. Kongres yang seharusnya dilaksanakan pada 1973
itu baru terlaksana pada 26-30 Desember 1976.di Wisma Ciliwung Jakarta. Selain
penyempurnaan PD/PRT dan perumusan program kerja, pada kongres ini juga
dibangun aliansi strategis antar-pelajar. Kongres IX/VIII dilaksanakan di
Cirebon pada 20-25 Juni 1981. Kongres ini menghasilkan berbagai keputusan
penting menyangkut pola program organisasi, penguatan pelatihan, pengesahan
pedoman pengkaderan dll.
Setelah sempat tersendat-sendat akhirnya IPNU berhasil
menyelenggarakan Kongres X di Pondok Pesantren Mamba’ul Maarif, Denanyar Jombang
pada 29-31 Januari 1988. Kongres ini mencatat sejarah penting karena dalam
perhelatan itulah IPNU terpaksa merubah singkatan menjadi Ikatan Putra
Nahdlatul Ulama. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan UU
No.8/1985 tentang Keormasan. Melalui UU itu dan sederan peraturan lain,
pemerintah melarang keberadaan organisasi pelajar kecuali OSIS.
Selanjutnya, Kongres XI
diselelnggarakan di Lasem Rembang pada 1992. Sebagaimana kongres-kongres
sebelumnya, pada kongres ini terjadi revisi PD/PRT dan dirumuskan berbaagi
langkah strategis untuk memberdayakan pelajar dan remaja pada umumnya. Setelah
mengarungi perjalanan yang terjal dan berliku, akhirnya PP IPNU
menyelenggarakan Kongres XII di Garut, Jawa Barat pada 10-14 Juli 1996. Melalui
kongres ini periode Pimpinan Pusat diubah dari lima tahun menjadi empat tahun.
Usia maksimum yang awalnya 32 tahun menjadi 35 tahun. Kongres ini berlangsung
pada akhir kekuasaan Orde Baru. Jaringan dengan berbagai organ lain dibangun
pada masa kepengurusan hasil kongres ini. IPNU juga ikut membidani lahirnya
Forum Komunikasi Pemuda Indonesia bersama IPPNU, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI dan
Hikmahbudhi.
Kongres XIII/XII dilaksanakan di Makassar pada 22-26 Maret 2000
yang dihadiri oleh Presiden Gus Dur. Hal yang monumental dalam kongres ini
adalah lahirnya Deklarasi Makassar yang manguatkan basis IPNU pada pelajar
(siswa dan santri), dengan tatap menggarap remaja usia pelajar pada umumnya.
Setelah kongres ini IPNU-IPPNU melakukan gebrakan dengan mendirikan komisariat
IPNU sekolah, pesantren dan perguruan tinggi.
Kongres XIV IPNU dilaksanakan pada 18-24 Juni 2003 di Asrama Haji
Sukolilo Surabaya. Kongres terakhir ini menorehkan catatan sejarah mahapenting
dalam perjalanan IPNU. Dalam kongres inilah kegelisahan untuk kembali menjadi
organsasi pelajar menemukan puncaknya. Dengan dimotori oleh Jawa Tengah kongres
yang berjalan sangat alot akhirnya berhasil mengembalikan IPNU ke khittah-nya.
IPNU berubah menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.
Babak baru perjalanan IPNU dimulai. Keputusan untuk mengembalikan IPNU ke pelajar dianggap menjadi pilihan yang
terbaik di tengah perubahan dan kompleksitas tantangan yang dihadapi Nahdlatul
Ulama. Paling tidak ada dua alasan besar yang dapat dikemukan. Pertama, dari sisi kesejarahan, kembali
ke pelajar dianggap penting karena perubahan nama menjadi “Putra” dan
“Putri-Putri” pada tahun 1988 adalah kecelakaan sejarah. Tekanan
pemerintah waktu itu adalah hal yang tidak dapat dilupakan sebagai faktor utama
perubahan nama. Jelas, perubahan itu penuh dengan nuansa politis dan sekadar
strategi untuk mempertahankan eksistesi ketimbang karena kebutuhan. Nah, kini
saat kebebasan berorganisasi dibuka lebar dan tidak ada intervensi apapun
terhadap keberlangsungan organisasi, produk lama itu tidak perlu pertahankan.
Kedua adalah
alasan kebutuhan. Pelajar NU sebagai kekuatan masa depan pada waktu-waktu lalu
tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama. Pelajar -yang juga
termasuk santri- disadari sebagai komponen penting yang harus dibina dan
diapresiasi, karena komponen inilah yang sejatinya menjadi aset masa depan.
Akibat dari tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit
kalangan muda terdidik ini yang mengalami pembusukan. Oleh karena itu saat ini
dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi
pelajar dan santri NU. IPNU yang kelahirannya memang sebagai tempat untuk
mewadahi pelajar dan santri, harus dikembaikan pada posisi semula, yaitu tempat
aktualisasi dan pengembangan pelajar dan santri, tanpa meninggalkan basis
non-pelajar.
Dengan
keputusan penting ini berarti IPNU bertekad mengembalikan basis massanya pada
sekolah dan pesantren. Jika semula IPNU memiliki wilayah garapan yang samar
karena istilah “putra” dan ”putri” tidak memiliki identifikasi yang jelas, maka
pada saat mendatang segmen garapan IPNU diperjelas pada segmen santri dan
pelajar. Untuk mencapai itu tentu dengan melewati masa transisi yang panjang
karena kenyataannya sampai hari ini kader IPNU non-terdidik masih sangat
banyak. Namun begitu sesungguhnya yang lebih penting saat ini adalah memaknai
“kembali ke pelajar” dengan pemaknaan yang luas, yakni sebagai komitmen untuk
membentuk dirinya sebagai learning
society.
Artinya,
“kembali ke pelajar” harus diterjemahkan sebagai sikap untuk membenamkan diri
pada tradisi dan budaya keilmuan dalam setiap gerak dan aktivitasnya.
Terminologi pelajar dalam konteks ini tidak dimaknai sebaga orang yang sedang
menempuh proses belajar secara formal di bangku sekolah, melainkan harus
dimaknai secara luas sebagai orang yang sedang ngangsu kawruh. Belajar tidak harus di sekolah, pesantren atau
lembaga lain. Belajar bisa dilakukan di manapun: lingkungan, organisasi,
keluarga, masyarakat dan lain-lain. Belajar adalah sebuah tekad yang tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itulah maka segala gerakan dan program
IPNU-IPPNU harus diorientasikan pada pengembangan intelektualitas, peningkatan
potensi dan profesionalisme kader.
Keputusan
“kembali ke pelajar” selanjutnya diperkuat dalam Kongres IPNU XV di Asrama Haji
Pondok Gede Jakarta pada tanggal 9-12 Juni 2006. Jika dalam kongres sebelumnya
keputusan “kembali ke pelajar” baru sebatas perubahan nama, maka dalam kongres
ini peneguhan eksistensi IPNU sebagai organsiasi pelajar diterjemahkan dalam
berbagai keputusan strategis. Dalam kongres ini menguat keinginan untuk
mengakhiri masa transisi panjang dan secara total mengembalikan organsiasi
menjadi organisasi pelajar. Di samping evaluasi dan restrukturisasi organisasi,
kongres ini telah melahirkan banyak perubahan besar dan mendasar. Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT) sebagai konstitusi tertinggi
organisasi disesuaikan dengan perubahan organisasi dan kebutuhan reformulasi
kelembagaan. Demikian juga Garis-Garis Besar Program Pejuangan dan Pengembangan
(GBPPP) IPNU.
Yang
sangat monumental, kongres ini mencatat perubahan yang sangat mendasar pada
landasan paradigmatik organisasi. Dahulu, basis paradigmatik ini dinamakan
Citra Diri. Namun dalam perkembangannya, Citra Diri tampaknya tidak lagi
memadai untuk dijadikan pijakan gerakan IPNU. Berbagai persoalan di tingkat
praktis, terutama dalam ranah pengkaderan, kerap muncul karena kerapuhan basis
paradigmatik itu. Berangkat dari kesadaran itulah, setelah melalui berbagai
pengkajian --terutama Workshop Citra Diri di Yogyakarta—Kongres XV IPNU
berhasil merumuskan landasarn paradigmatik baru berupa Prinsip Perjuangan IPNU
sebagai pengganti Citra Diri. Banyak perubahan substansial dalam rumusan baru
tersebut yang sangat penting untuk menjadi pijakan kehidupan kader dan gerak
langkah organisasi.
Menanam “Investasi”, Merebut Makna
Ada tiga
konsekuensi besar setelah kembalinya IPNU sebagai organisasi pelajar, yaitu
mengembalikan basis IPNU ke sekolah dan pesantren; membangun gerakan berbasis
keilmuan di kalangan muda NU; dan melakukan advokasi pendidikan. Ketiganya
harus berjalan bareng seiring makin meningkatnya kesadaran kita akan peran yang
semestinya dimainkan oleh organisasi kader ini. “Tugas” ini adalah sebuah
kiniscayaan sebagai tuntutan-–atau tepatnya kebutuhan—sejarah.
Mengembalikan
IPNU ke “kandang”nya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk
melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari
kesadaran bahwa pelajar adalah “investasi masa depan” bagi NU dan bangsa.
Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak
mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal
penanaman nilai dan gerakan. Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU harus
“ekspansi” ke sekolah dan pesantren. Agenda ini sebenarnya sudah dimulai
setidaknya tiga tahun terakhir, meskipun belum menyeluruh dan terjadi hanya di
sekolah Ma’arif. Agenda masuk ke sekolah bahkan harus direalisasikan tidak
hanya pada sekolah yang bernaung di bawah LP. Ma’arif, melainkan juga sekolah
non-Ma’arif yang berbasis NU maupun sekolah umum sekalipun.
Komisariat
IPNU di sekolah adalah menggantikan posisi OSIS di sekolah yang bernaung di
bawah LP Ma’arif NU dan organisasi santri di pesantren. Sementara ia menjadi
organisasi ekstra kampus di sekolah non-Ma’arif, termasuk sekolah-sekolah
negeri. Sebagaimana kita tahu masuknya organisasi non-OSIS ke sekolah menjadi urgen
karena OSIS jelas merupakan peninggalan “masa lalu” yang bermuatan politis.
Dikatakan politis karena ia telah menjadi alat penyeragaman untuk membatasi
ruang gerak pelajar. Dengan OSIS-lah pelajar kita dikebiri. Masuknya IPNU
diharapkan membawa warna lain. Ia diproyeksikan menjadi pemerdeka bagi
kreativitas dan aktualisasi pelajar.
Demikian juga di pesantren. Meskipun di beberapa daerah IPNU sudah
masuk pesantren, namun sampai hari ini belum terlihat optimal. Padahal
pesantren bagaimanapun adalah bagian terpenting dari keberadaan Nahdlatul
Ulama. Terlebih sekarang, pesantren diakui sebagai pendidikan yang setara
dengan pendidikan formal. Artinya, menggarap segmen santri tidak boleh
dipandang tidak sepenting menggarap segmen siswa. Memang, kendala terbesarnya--menurut
keluhan di beberapa daerah—adalah otonomi pesantren dan otoritas kyai.
Kebijakan IPNU untuk masuk pesantren tidak jarang bertabrakan dengan kebijakan
pemimpin pesantren. Hal ini memang sedang menjadi perhatian kita.
Lebih
dari sekolah, masuknya IPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang
cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi
besar bagi keilmuan agama. Tugas besarnya adalah melakukan “perkawinan”
intelektual, agar dunia pesantren tidak saja “melek”, melainkan juga terbuka
bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai “alat” pembumian
keilmuan agama. Singkat kata, masuk sekolah dan pesantren adalah menanam
investasi perjuangan masa depan.
Agenda penguatan gerakan berbasis keilmuan juga menjadi
konsekuensi yang tak terelakkan. Amanat besar dan terpenting “kembali ke pelajar” adalah perubahan
paradigma gerakan IPNU menjadi gerakan keilmuan (atau dengan istilah lain,
kepelajaran). Kemungkinan ini harus diberangkatkan dari realitas umum di tubuh
NU di mana telah terjadi pergeseran yang serius dalam hal pengembangan keilmuan
dan pemikiran. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya pengkaderan yang
serius terhadap kaum cendekiawan. Sebagian besar kekuatan NU -termasuk kalangan
mudanya- tersedot pada wilayah politik formal yang dalam beberapa hal sering
bertentangan dengan arah perjuangan jam’iyah. Di sinilah kembalinya IPNU ke
pelajar menemukan momentum yang tepat sebagai bentuk tanggung jawab besar bagi
sejarah gerakan Nahdlatul Ulama. Dengan ungkapan yang lebih ringan, perubahan
ke pelajar adalah “membelokkan” arah dari politisasi ke intelektualisasi.
“Pelajar”-dalam
pengertian ini akhirnya dimaknai secara luas, yaitu orang yang sedang belajar
di lembaga pendidikan lain selain sekolah dan pesantren, bahkan yang sedang tidak mengikuti proses pendidikan
pun dikategorikan sebagai pelajar. IPNU harus menjadi organisasi pengkaderan
berbasis intelektualisme di kalangan muda NU. Arah orientasinya adalah secara
substansial membangun komitmen keilmuan. Gerakannya adalah melakukan
pengembangan keilmuan dan pemikiran dalam berbagai disiplin.
Demikian juga advokasi kepelajaran, harus menjadi agenda yang harus
diperankan oleh IPNU. Hal ini menjadi penting karena meskipun “zaman” telah
berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan
tidak memihak rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang
belakangan sedang ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang sesungguhnya melanggar
UU Sisdiknas. Orde baru memang telah berlalu, tapi masih terlalu banyak
“warisan” yang kita tanggung. Karena itulah berbagai kebijakan yang saat ini
sudah tidak populer dan tidak relevan dengan demokratisasi harus dilawan.
Sebagai organisasi pelajar, IPNU memang harus berpolitik, tetapi bukan dalam
lingkup formal dan praktis. Politik ala IPNU adalah mendesakkan
kebijakan-kebijakan yang memihak kepentingan pelajar khususnya dan pendidikan
secara umum. Penulis menyebutnya sebagai politik kepelajaran. Ini semua
dilakukan untuk merebut makna, dengan tetap melakukan tugas-tugas kemasyarakat
sebagai kekuatan civil society.

Posting Komentar