0

Diskusi ini kita mulai dengan menengok sejarah karena sejarah adalah “alat” yang penting untuk membangun pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Tanpa memahami sejarah suatu analisis akan tercerabut dari konteksnya, sehingga sulit dipahami. Demikian juga memahami IPNU, juga tidak bisa lepas dari kesejarahannya. Namun pemahaman yang dibutuhkan bukanlah pemahaman yang kronologis semata, melainkan mencakup konteks sosial dalam setiap era, respons-respons sosialnya, serta aliansi taktis dan strategis dengan organ lain.
Dengan demikian membaca sejarah IPNU tidak bisa dilepaskan dari pembacaan sejarah perjuangan pembebasan nasional, baik dalam masa penjajahan maupun masa kemerdekaan yang diwarnai pergerakan mewujudkan cita-cita nasional sampai era reformasi. Dengan kata lain dibutuhkan upaya untuk melihat IPNU sebagai bagian dari sekian organ perjuangan kaum muda yang pernah ada di Indonesia. Karena IPNU- berdialektika dengan organ-organ lain, maka menarik untuk menempatkan sejarah IPNU dalam kancah pergulatan dan perjuangan kebangsaan di antara organisasi-organisasi pemuda lainnnya.
Penelusuran ini menjadi esensial sebab peran kaum muda memiliki catatan penting dalam sejarah sosial dan kebangsaan negeri ini. Peran kaum muda dalam perebutan kemerdekaan, atau sebagai motor penggerak berbagai perubahan sosial pasca-kemerdekaan, misalnya, terukir rapi dalam sejarah. Reformasi yang telah bergulir di tanah air sampai penuntasan agendanya, tidak lepas dari kepeloporan generasi muda.
Seperti telah tercatat dalam sejarah, penjajahan di tanah air telah melahirkan gelombang pergerakan nasional yang besar. Untuk mengorganisir perlawanan terhadap penjajah, lahirlah berbagai organisasi. Kesadaran berorganisasi secara signifikan menemukan mumentumnya. Berbagai organisasi bermunculan dalam atmosfir pergerakan perlawanan ini. Sebagian besar organ-organ pergerakan itu dipelopori oleh kalangan muda. Budi Utomo (20 Mei 1908), Trikoro Darmo yang akhirnya berubah menjadi Jong Java, Sarekat Islam, dll. Keberadaan Jong Java menginspirasikan lahirnya organ serupa di luar Jawa, seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Jong Batak Bond (1925), Jong Islamieten Bond (1925). Fenomena ini kemudian ditangkap sebagai kecenderungan terhadap kebutuhan penyatuan organisasi kaum muda dalam lingkup yang lebih luas (nasional).
Kristalisasi dari pergerakan yang berbasis lokal di atas, terakumulasi dalam kelahiran Jong Indonesia di Bandung pada 27 Pebruari 1927 (hasil keputusan Kongres Pemuda I, 30 April 1926) dan Kongres Pemuda II pada 26-28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Jauh sebelumnya, pada tahun 1916, KH. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) di Surabaya. Dua tahun kemudian (1918) beliau mendirikan organisasi sosial ekonomi bernama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pada Pedagang). Di Ampel, Surabaya, tahun 1919, berdiri madrasah yang bernama Taswirul Afkar (Pencerahan Pemikiran). Organ-organ inilah  yang nantinya menjadi embrio Nahdlatul Ulama. Di berbagai daerah di luar Jawa kemunculan organisasi pergerakan juga tak kalah ramai seperti Sumatera Tawalib, Persis Perti dan  Persatuan Muslimin Tapanuli (PTM) yang kemudian bergabung dengan NU.
Setelah melalui pergulatan panjang, baik karena pengaruh perkembangan global, nasional, maupun lokal, kalangan yang berlatar belakang kultural sama itu akhirnya mendirikan NU, tepatnya pada 31 Januari 1926. NU menjadi organ konsolidator bagi pergerakan yang berserakan di basis Islam tradisonal. Makna kelahiran NU, menurut KH. HM Dachlan (Fillard: 1999:15), berakar pada perjuangan antikolonial.
Pada tahun 1930 berbagai organ kaum muda melebur menjadi satu dengan wadah Indonesia Muda (IM), yang dipelopori Pehimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Namun dalam perjalanannya, IM melemah dan mendorong kelahiran organ lain seperti Soeloeh Pemoeda Indonesai (SPI) dan Pergerakan Pemuda Revolusioner (PERPIRI). Semenjak era ini, dunia pergerakan mengalami kevakuman. Penyebab dari kevakuman ini salah satunya adalah kebijakan represif kolonial terhadap kaum muda pergerakan, seperti pembatasan hak berkumpul dan berserikat. Puncaknya ditandai dengan pengasingan pemimpin-pemimpin pergerakan, di antaranya Sukarno, Hatta dan Syahrir.
Sebuah era baru dimulai, yakni perjuangan yang lebih berkarakter kultural seperti lahirnya studieclub, yang memilih melakukan aksi-aksi penyadaran masyarakat tentang pentingnya pergerakan, persatuan, pendidikan, melalui surat kabar atau majalah seperti Soeloeh Rakyat dan Soeloeh Indonesia.
Setelah ada perubahan situasi, terjadi transformasi format perjuangan menuju karakter yang lebih politis. Algemeene Studieclub-nya Soekarno berubah manjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan PNI pada tahun 1927. Aktivis Budi Utomo mendirikan Partai Indonesia Raya (PARSINDRA). Muncul juga Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO), yang berpuncak pada terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939.
Demikian juga pada masa pendudukan Jepang. Meskipun menjajah dalam waktu yang sangat singkat, namun kebijakan Jepang lebih represif. Jepang memberangus organ pergerakan yang telah ada. MIAI yang memiliki watak antikolonial diganti dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Akhirnya NU sebagai organisasi terbesar disubordinasikan dalam MIAI.
Singkat cerita, perjuangan pembebasan kolonial akhirnya mencapai titik kulminasi dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ratusan partai politik menjamur untuk ikut dalam kontes politik. NU sebagai organisasi terbesar juga masuk gelanggang politik dengan bergabung pada partai Masyumi. Pilihan ini dilakukan sebagai bentuk perjuangan lewat jalur struktural. Politik NU senantiasa diwarnai dengan dinamika dan tidak ada blue-print yang baku. Dialektika sejarah memaksa NU keluar dari Masyumi pada tanggal 15 April 1952. Deklarasi ini menjadi babak baru kehidupan politik NU.
Meski Indonesia telah merdeka, namun bukan berarti agenda perlawanan telah selesai. Sebab imperialisme tetap menjadi musuh besar karena berbagai agresi tetap dilancarkan. Karena itulah partai politik dan organisasi massa tetap menjadi agen penting dalam upaya pembebasan nasional, termasuk ormas pelajar dan kepemudaan.
Mengiringi menjamurnya parpol, di wilayah lain juga tumbuh berbagai organisasi sosial kaum muda dan mahasiswa. Perkumpulan Pemuda Kristen (PPKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Gerakan Mahasiswa Sosialis (Germasos) berdiri. Begitu juga di lingkungan NU. Jauh sebelum itu, generasi muda NU tekah memiliki kesadaran pergerakan. Kesadaran kolektif ini termanifestasikan dalam berbagai organ yang tumbuh di basis-basis NU. Bisa dicontohkan, di Surabaya telah berdiri organ pelajar Tsamrotul Mustafidzin pada 11 Oktober 1936, Persatoean Santri NO (Persano) pada 1939; di Malang berdiri Persatoean Moerid NO (PAMNO) pada 1941; di Madura berdiri Ijtimauth Tholabiyyah pada 1945; di Sumbawa berdiri Ijtimauth Tholabah NO pada 1946; di Kediri berdiri Persatuan Pelajar NO (Perpeno) pada 1954; di Medan berdiri Ikatan Pelajar NO (IPENO) pada 1945; Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama (IMNO) pada tahun 1945; Subbanul Muslimin yang berdiri di Madura, serta masih banyak lagi.
Hanya saja organ-organ tersebut belum terkonsolidir secara nasional, sehingga corak dan watak gerakannya masih bersifat lokal. Yang menyatukan mereka adalah imajinasi kolektif yang dibentuk dari tradisi keagamaan Sunni yang sama. Pada titik inilah muncul kepeloporan gerakan yang hendak membangun jembatan pergerakan antar-organ tersebut. Maka tampillah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang) yang membawa gagasan progresif ini untuk disampaikan pada Konbes PB LP. Ma’arif di Semarang pada Pebruari 1954. Gayung bersambut, sehingga gagasan ini diakomodir untuk dijadikan agenda pembahasan. Akhirnya Konbes Ma’arif Semarang tersebut mengesahkan berdirinnya organ Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada tanggal 24 Pebruari 1954/ 20 Jumadil Akhir 1373 H.
Setelah resmi berdiri, IPNU melakukan konsolidasi melalui Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri. Konferensi ini berhasil merumuskan asas organisasi (Aswaja), tujuan organisasi, yakni mengemban risalah Islamiyah, mendorong kualitas pendidikan, dan mengkonsolidir pelajar. Konferensi ini menetapkan M. Tholhah Mansoer  sebagai Ketua Umum pertama. Hasil konsolidasi ini lalu dibawa dalam muktamar NU ke-20 di Surabaya, (9-14 September 1954). Dan dalam Muktamar itulah IPNU disahkan oleh PBNU sebagai satu-satunya organisasi pelajar putra dalam naungan Nahdlatul Ulama.
Mulai saat itulah, sejarah pergerakan pelajar NU telah dirorehkan. Keberadaannya mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, lambang kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan dehumanisasi. Tradisi itu seperti telah terlihat dalam sejarah, telah tumbuh sejak lama. Kalaupun pada tahun 1954 baru lahir, hal itu haruslah dimaknai sebagai semata-mata formalisasi dan institusionalisasi perjuangan agar lebih terorganisir, terprogram dan terkosolidir secara nasional.

Dari Kongres ke Kongres: Menapaki Jalan Terjal
Konsolidasi berikutnya dilakukan dalam Muktamar (sekarang disebut Kongres) I di Malang pada 28 Pebruari-5 Maret 1955, yang diikuti tidak kurang dari 30 cabang dan beberapa utusan pesantren. Muktamar ini menjadi pijakan penting karena salah satu keputusan pentingnya adalah legalisasi organisasi. Pada perhelatan ini jugalah IPPNU lahir, tepatnya pada 2 Maret 1955
Pada era ini Indonesia dilanda instabilitas politik. Kondisi ini disebabkan pertarungan ideologi antarkekuatan partai politik dan diperparah dengan keterlibatan militer dalam panggung politik. Konflik politik dan ideologi dalam pentas nasional di atas merembes pada semu organ underbow parpol. Kondisi ini memaksa organ-organ muda pun terbelah dalam pertentangan ideologis sesuai dengan afiliasi politik maisng-masing. Garis front kiri dan front kanan dalam organ kaum muda kian jelas. Perpecahan terjadi antara GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dan Gerrmasos. HMI berafiliasi ke Masyumi, GMNI ke PNI, Germasoso ke PSI, dan IPNU serta neven-neven NU lainnya berafiliasi ke Partai NU.
Dalam pergolakan itulah IPNU terus meniti garis perjuangannya sambil terus malukukan konsolidasi internal. Setelah berjalan dua tahun, Muktamar II IPNU dan Muktamar I IPPNU diselenggarakan di Kota Batik Pekalongan pada 1-5 Januari 1957. Kebijakan-kebijakan strategis yang dirumuskan dalam muktamar ini antara lain konsolidasi organisasi, pengembangan cabang-cabang ke luar Jawa dan pondok pesantren. Sejak muktamar ini penataan organisasi dan pengembangan cabang-cabang dicanangkan.
Muktamar III dan II dilaksanakan di Cirebon pada 27 Desember 1958 - 2 Januari 1959. Krisis politik dan ekonomi menjadi salah satu bahan pembahasan. Pengembangan cabang masih menjadi prioritas. Juga diputuskan penerbitan buku panduan organisasi, administrasi dan pola kerja organisasi. Muncul gagasan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi sebagai respons atas desakan pendirian IMANU. Kepengurusan hasil Muktamar Cirebon ini dalam perjalanannya memiliki dinamika dan mencatat peran sejarah tersendiri. Salah satu keputusan munomentalnya adalah IPNU telah membidani lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organ khusus mahasiswa di kalangan NU.
Dua tahun setelah itu dilaksanakan Muktamar IV IPNU pada 11-14 Pebruari 1961 di Yogyakarta. Muktamar ini menghasilkan 9 program kerja dan rekomendasi, pemantapan pendirian PMII, penggantian istilah Muktamar menjadi Kongres, finalisasi lambang IPNU dll.
Kongres V/IV dilaksanakan di Purwokerto pada Juli 1963 masih dalam setting instabilitas politik dan ekonomi. Situasi ini meuntut peserta kongres merespons dalam agenda-agenda sidang yang kemudian menjadi rekomendasi. Dalam kongres ini diputuskan peneguhan menyebutan NU dalam IPNU untuk selamanya. Hal ini dilakukan karena muncul gagasan kontroversial untuk menghilangkan kata “NU” dalam akronim “IPNU”.
Kongres VI/V dilaksanakan di Surabaya pada 20-24 Agustus 1966. penyelenggaraan kongres ini berada di tengah situasi politik dalam negeri sedang panas-panasnya. Sebagai respons atas situasi ini IPNU mengkonsolidir “sayap militer”nya yaitu Corp Brigade Pembangunan (CBP). Respons politik diberikan oleh IPNU-IPPNU bukah hanya dengan pernyataan sikap, melainkan juga dengan aktif turun ke jalan.  Melalui kongres ini dirumuskan penguatan organ dengan sebutan gerakan penguatan ranting, perencanaan pelatihan, pembinaan kader dan sosialisasi Aswaja. Dalam kongres ini pula IPNU merumuskan sistem pendidikan NU. Di samping itu juga diputuskan kantor pusat IPNU pindah dari Yogyakarta ke  Jakarta.
Kongres berikutnya, Kongres VII diselenggarakan di Semarang pada 20-25 Agustus 1970. Kongres ini merupakan yang pertama dilaksanakan pada masa Orde Baru. Selain berbagai keputusan internal, seperti ikrar tentang IPNU sebagai satu-satunya organ santri dan pelajar NU, kongres juga memberikan respons politik terhadap perkembangan dalam atmosfir politik berkaitan dengan konsolidasi Orba yang mulai menunjukkan watak otoritarian-birokratiknya. Kongres ini juga mengkritisi militerisme, desakan menaikkan anggaran pendidikan sampai 25% dari APBN.
Kongres VIII diselenggarakan agak terlambat sebagai implikasi penjinakan yang dilakukan oleh Orde Baru. Secara sistematis Orba melakukan pengebirian terhadap ormas dan meluncurkan kebijakan penyeragaman ideologi, depolitisasi dan deideologisasi. Kongres yang seharusnya dilaksanakan pada 1973 itu baru terlaksana pada 26-30 Desember 1976.di Wisma Ciliwung Jakarta. Selain penyempurnaan PD/PRT dan perumusan program kerja, pada kongres ini juga dibangun aliansi strategis antar-pelajar. Kongres IX/VIII dilaksanakan di Cirebon pada 20-25 Juni 1981. Kongres ini menghasilkan berbagai keputusan penting menyangkut pola program organisasi, penguatan pelatihan, pengesahan pedoman pengkaderan dll.
Setelah sempat tersendat-sendat akhirnya IPNU berhasil menyelenggarakan Kongres X di Pondok Pesantren Mamba’ul Maarif, Denanyar Jombang pada 29-31 Januari 1988. Kongres ini mencatat sejarah penting karena dalam perhelatan itulah IPNU terpaksa merubah singkatan menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan UU No.8/1985 tentang Keormasan. Melalui UU itu dan sederan peraturan lain, pemerintah melarang keberadaan organisasi pelajar kecuali OSIS.
 Selanjutnya, Kongres XI diselelnggarakan di Lasem Rembang pada 1992. Sebagaimana kongres-kongres sebelumnya, pada kongres ini terjadi revisi PD/PRT dan dirumuskan berbaagi langkah strategis untuk memberdayakan pelajar dan remaja pada umumnya. Setelah mengarungi perjalanan yang terjal dan berliku, akhirnya PP IPNU menyelenggarakan Kongres XII di Garut, Jawa Barat pada 10-14 Juli 1996. Melalui kongres ini periode Pimpinan Pusat diubah dari lima tahun menjadi empat tahun. Usia maksimum yang awalnya 32 tahun menjadi 35 tahun. Kongres ini berlangsung pada akhir kekuasaan Orde Baru. Jaringan dengan berbagai organ lain dibangun pada masa kepengurusan hasil kongres ini. IPNU juga ikut membidani lahirnya Forum Komunikasi Pemuda Indonesia bersama IPPNU, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI dan Hikmahbudhi.
Kongres XIII/XII dilaksanakan di Makassar pada 22-26 Maret 2000 yang dihadiri oleh Presiden Gus Dur. Hal yang monumental dalam kongres ini adalah lahirnya Deklarasi Makassar yang manguatkan basis IPNU pada pelajar (siswa dan santri), dengan tatap menggarap remaja usia pelajar pada umumnya. Setelah kongres ini IPNU-IPPNU melakukan gebrakan dengan mendirikan komisariat IPNU sekolah, pesantren dan perguruan tinggi.
Kongres XIV IPNU dilaksanakan pada 18-24 Juni 2003 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Kongres terakhir ini menorehkan catatan sejarah mahapenting dalam perjalanan IPNU. Dalam kongres inilah kegelisahan untuk kembali menjadi organsasi pelajar menemukan puncaknya. Dengan dimotori oleh Jawa Tengah kongres yang berjalan sangat alot akhirnya berhasil mengembalikan IPNU ke khittah-nya. IPNU berubah menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.
Babak baru perjalanan IPNU dimulai. Keputusan untuk mengembalikan IPNU ke pelajar dianggap menjadi pilihan yang terbaik di tengah perubahan dan kompleksitas tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama. Paling tidak ada dua alasan besar yang dapat dikemukan. Pertama, dari sisi kesejarahan, kembali ke pelajar dianggap penting karena perubahan nama menjadi “Putra” dan “Putri-Putri” pada tahun 1988 adalah kecelakaan sejarah. Tekanan pemerintah waktu itu adalah hal yang tidak dapat dilupakan sebagai faktor utama perubahan nama. Jelas, perubahan itu penuh dengan nuansa politis dan sekadar strategi untuk mempertahankan eksistesi ketimbang karena kebutuhan. Nah, kini saat kebebasan berorganisasi dibuka lebar dan tidak ada intervensi apapun terhadap keberlangsungan organisasi, produk lama itu tidak perlu pertahankan.
Kedua adalah alasan kebutuhan. Pelajar NU sebagai kekuatan masa depan pada waktu-waktu lalu tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama. Pelajar -yang juga termasuk santri- disadari sebagai komponen penting yang harus dibina dan diapresiasi, karena komponen inilah yang sejatinya menjadi aset masa depan. Akibat dari tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit kalangan muda terdidik ini yang mengalami pembusukan. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri NU. IPNU yang kelahirannya memang sebagai tempat untuk mewadahi pelajar dan santri, harus dikembaikan pada posisi semula, yaitu tempat aktualisasi dan pengembangan pelajar dan santri, tanpa meninggalkan basis non-pelajar.
Dengan keputusan penting ini berarti IPNU bertekad mengembalikan basis massanya pada sekolah dan pesantren. Jika semula IPNU memiliki wilayah garapan yang samar karena istilah “putra” dan ”putri” tidak memiliki identifikasi yang jelas, maka pada saat mendatang segmen garapan IPNU diperjelas pada segmen santri dan pelajar. Untuk mencapai itu tentu dengan melewati masa transisi yang panjang karena kenyataannya sampai hari ini kader IPNU non-terdidik masih sangat banyak. Namun begitu sesungguhnya yang lebih penting saat ini adalah memaknai “kembali ke pelajar” dengan pemaknaan yang luas, yakni sebagai komitmen untuk membentuk dirinya sebagai learning society.
Artinya, “kembali ke pelajar” harus diterjemahkan sebagai sikap untuk membenamkan diri pada tradisi dan budaya keilmuan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Terminologi pelajar dalam konteks ini tidak dimaknai sebaga orang yang sedang menempuh proses belajar secara formal di bangku sekolah, melainkan harus dimaknai secara luas sebagai orang yang sedang ngangsu kawruh. Belajar tidak harus di sekolah, pesantren atau lembaga lain. Belajar bisa dilakukan di manapun: lingkungan, organisasi, keluarga, masyarakat dan lain-lain. Belajar adalah sebuah tekad yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itulah maka segala gerakan dan program IPNU-IPPNU harus diorientasikan pada pengembangan intelektualitas, peningkatan potensi dan profesionalisme kader.
Keputusan “kembali ke pelajar” selanjutnya diperkuat dalam Kongres IPNU XV di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 9-12 Juni 2006. Jika dalam kongres sebelumnya keputusan “kembali ke pelajar” baru sebatas perubahan nama, maka dalam kongres ini peneguhan eksistensi IPNU sebagai organsiasi pelajar diterjemahkan dalam berbagai keputusan strategis. Dalam kongres ini menguat keinginan untuk mengakhiri masa transisi panjang dan secara total mengembalikan organsiasi menjadi organisasi pelajar. Di samping evaluasi dan restrukturisasi organisasi, kongres ini telah melahirkan banyak perubahan besar dan mendasar. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT) sebagai konstitusi tertinggi organisasi disesuaikan dengan perubahan organisasi dan kebutuhan reformulasi kelembagaan. Demikian juga Garis-Garis Besar Program Pejuangan dan Pengembangan (GBPPP) IPNU.
Yang sangat monumental, kongres ini mencatat perubahan yang sangat mendasar pada landasan paradigmatik organisasi. Dahulu, basis paradigmatik ini dinamakan Citra Diri. Namun dalam perkembangannya, Citra Diri tampaknya tidak lagi memadai untuk dijadikan pijakan gerakan IPNU. Berbagai persoalan di tingkat praktis, terutama dalam ranah pengkaderan, kerap muncul karena kerapuhan basis paradigmatik itu. Berangkat dari kesadaran itulah, setelah melalui berbagai pengkajian --terutama Workshop Citra Diri di Yogyakarta—Kongres XV IPNU berhasil merumuskan landasarn paradigmatik baru berupa Prinsip Perjuangan IPNU sebagai pengganti Citra Diri. Banyak perubahan substansial dalam rumusan baru tersebut yang sangat penting untuk menjadi pijakan kehidupan kader dan gerak langkah organisasi.

Menanam “Investasi”, Merebut Makna

Ada tiga konsekuensi besar setelah kembalinya IPNU sebagai organisasi pelajar, yaitu mengembalikan basis IPNU ke sekolah dan pesantren; membangun gerakan berbasis keilmuan di kalangan muda NU; dan melakukan advokasi pendidikan. Ketiganya harus berjalan bareng seiring makin meningkatnya kesadaran kita akan peran yang semestinya dimainkan oleh organisasi kader ini. “Tugas” ini adalah sebuah kiniscayaan sebagai tuntutan-–atau tepatnya kebutuhan—sejarah.
Mengembalikan IPNU ke “kandang”nya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pelajar adalah “investasi masa depan” bagi NU dan bangsa. Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU harus “ekspansi” ke sekolah dan pesantren. Agenda ini sebenarnya sudah dimulai setidaknya tiga tahun terakhir, meskipun belum menyeluruh dan terjadi hanya di sekolah Ma’arif. Agenda masuk ke sekolah bahkan harus direalisasikan tidak hanya pada sekolah yang bernaung di bawah LP. Ma’arif, melainkan juga sekolah non-Ma’arif yang berbasis NU maupun sekolah umum sekalipun.
Komisariat IPNU di sekolah adalah menggantikan posisi OSIS di sekolah yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU dan organisasi santri di pesantren. Sementara ia menjadi organisasi ekstra kampus di sekolah non-Ma’arif, termasuk sekolah-sekolah negeri. Sebagaimana kita tahu masuknya organisasi non-OSIS ke sekolah menjadi urgen karena OSIS jelas merupakan peninggalan “masa lalu” yang bermuatan politis. Dikatakan politis karena ia telah menjadi alat penyeragaman untuk membatasi ruang gerak pelajar. Dengan OSIS-lah pelajar kita dikebiri. Masuknya IPNU diharapkan membawa warna lain. Ia diproyeksikan menjadi pemerdeka bagi kreativitas dan aktualisasi pelajar.
Demikian juga di pesantren. Meskipun di beberapa daerah IPNU sudah masuk pesantren, namun sampai hari ini belum terlihat optimal. Padahal pesantren bagaimanapun adalah bagian terpenting dari keberadaan Nahdlatul Ulama. Terlebih sekarang, pesantren diakui sebagai pendidikan yang setara dengan pendidikan formal. Artinya, menggarap segmen santri tidak boleh dipandang tidak sepenting menggarap segmen siswa. Memang, kendala terbesarnya--menurut keluhan di beberapa daerah—adalah otonomi pesantren dan otoritas kyai. Kebijakan IPNU untuk masuk pesantren tidak jarang bertabrakan dengan kebijakan pemimpin pesantren. Hal ini memang sedang menjadi perhatian kita.
Lebih dari sekolah, masuknya IPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi besar bagi keilmuan agama. Tugas besarnya adalah melakukan “perkawinan” intelektual, agar dunia pesantren tidak saja “melek”, melainkan juga terbuka bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai “alat” pembumian keilmuan agama. Singkat kata, masuk sekolah dan pesantren adalah menanam investasi perjuangan masa depan.
Agenda penguatan gerakan berbasis keilmuan juga menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Amanat besar dan terpenting “kembali ke pelajar” adalah perubahan paradigma gerakan IPNU menjadi gerakan keilmuan (atau dengan istilah lain, kepelajaran). Kemungkinan ini harus diberangkatkan dari realitas umum di tubuh NU di mana telah terjadi pergeseran yang serius dalam hal pengembangan keilmuan dan pemikiran. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya pengkaderan yang serius terhadap kaum cendekiawan. Sebagian besar kekuatan NU -termasuk kalangan mudanya- tersedot pada wilayah politik formal yang dalam beberapa hal sering bertentangan dengan arah perjuangan jam’iyah. Di sinilah kembalinya IPNU ke pelajar menemukan momentum yang tepat sebagai bentuk tanggung jawab besar bagi sejarah gerakan Nahdlatul Ulama. Dengan ungkapan yang lebih ringan, perubahan ke pelajar adalah “membelokkan” arah dari politisasi ke intelektualisasi.
“Pelajar”-dalam pengertian ini akhirnya dimaknai secara luas, yaitu orang yang sedang belajar di lembaga pendidikan lain selain sekolah dan pesantren, bahkan  yang sedang tidak mengikuti proses pendidikan pun dikategorikan sebagai pelajar. IPNU harus menjadi organisasi pengkaderan berbasis intelektualisme di kalangan muda NU. Arah orientasinya adalah secara substansial membangun komitmen keilmuan. Gerakannya adalah melakukan pengembangan keilmuan dan pemikiran dalam berbagai disiplin.
Demikian juga advokasi kepelajaran, harus menjadi agenda yang harus diperankan oleh IPNU. Hal ini menjadi penting karena meskipun “zaman” telah berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang sesungguhnya melanggar UU Sisdiknas. Orde baru memang telah berlalu, tapi masih terlalu banyak “warisan” yang kita tanggung. Karena itulah berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan demokratisasi harus dilawan. Sebagai organisasi pelajar, IPNU memang harus berpolitik, tetapi bukan dalam lingkup formal dan praktis. Politik ala IPNU adalah mendesakkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepentingan pelajar khususnya dan pendidikan secara umum. Penulis menyebutnya sebagai politik kepelajaran. Ini semua dilakukan untuk merebut makna, dengan tetap melakukan tugas-tugas kemasyarakat sebagai kekuatan civil society.
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

Posting Komentar

 
Top