“Ayo Bergerak!.”
Pelajar, kata banyak orang, adalah komponen penting dalam setiap perubahan. Hal ini terekam rapi dalam sejarah Indonesia. Revolusi Indonesia, misalnya, dipelopori pertama kali oleh pelajar. Demikian pula reformasi, bergulir tidak lepas dari gerakan kaum terpelajar. Nah, karena begitu pentingnya peran pelajar, maka mereka perlu diorganisir. Kebutuhan ini semakin mendesak saat kita dihadapkan pada ketidakadilan struktural, terutama dalam dunia pendidikan. Meski zaman telah berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang menindas, membodohkan dan tidak memihak rakyat. Inilah yang menuntut kita mengorganisir pelajar untuk bergerak. Tentu dengan tujuan melakukan perubahan sosial. “Ayo Bergerak…”
Pengorganisasian Pelajar, apaan tuh?
Sebelum ngomongin soal pengorganisasian pelajar, kita mesti mengerti dulu tentang pengorganisasian masyarakat secara umum. Hal ini karena pengorganisasian pelajar adalah bagian dari pengorganisasian masyarakat. Secara umum pengorganisasian masyarakat didefinisikan sebagai proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemukan ancaman yang ada secara bersama-sama; menemukan penyelesaian yang mungkin; menemukan orang dan struktur, birokrasi, perangkat yang ada agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan; menyusun sasaran yang harus dicapai; dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen sehingga mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada.1
Dengan demikian, sekadar untuk mempermudah pembatasan, pengorganisasian pelajar adalah proses membangun kekuatan pelajar untuk secara bersama-sama menemukan penyelesaian atas persoalan yang dihadapi, dengan menggerakkan pelajar beserta perangkat yang ada agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan.
Tujuan pengorganisasian dibagi tiga hal,2: pertama, pendidikan kritis. Pelajar tahu akan hak-haknya, tidak bergantung pada pihak lain, jeli/peka terhadap setiap kebijakan (utamanya yang berkaitan dengan pendidikan), mempunyai pandangan yang sama terhadap siapa saja, dan bisa merasakan tidak terpinggirkan dan ditinggalkan. Kedua, manajerial. Upaya manajerial dilakukan untuk efektifitas pencapaian tujuan, misalnya mengorganisir pelajar untuk demo; ditribusi kerja dan tanggung jawab dll. Ketiga, ideologis. Kesetaraan, partisipasi masyarakat, keadilan dan demokrasi. Misalnya hak menikmati bantuan-bantuan/fasilitas, memperoleh pelayanan yang sama dari pemerintah, partisipasi dalam sumbangan dana untuk pekerjaan tertentu, penyusunan kebijakan pendidikan, pengawasan/kontrol kerja sekolah, dll.
Mengapa Mesti Ada Pengorganisasian?
Pengorganisasian pelajar dilakukan dengan mengajak komunitas pelajar untuk membongkar bungkus alienasi (keterasingan) dan marjinalisasi (penyisihan) dengan jalan memerdekakan, melepaskan diri dari proses pembodohan dan pemiskinan yang sudah terjadi secara struktural dan sistematis. Jadi, sebuah proses pengorganisasian pelajar yang benar harus mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada komunitas pelajar bahwa pendidikan adalah milik bersama dan semua orang berhak atasnya.
Pengorganisasian pelajar juga harus dapat mengingatkan pelajar terhadap kecenderungan formalistik, selalu mencari kemudahan dan pragmatis sehingga tidak memiliki daya kreasi dan kemandirian dalam menjalani dan menyikapi kehiduopan ini. Catat lho.., pengorganisasian pelajar bukan sekadar memobilisasi pelajar untuk suatu kepentingan, melainkan suatu suatu proes pergaulan/ pertemanan/ persahabatan dengan suatu komunitas yang lebih menitikiberatkan pada inisiatif massa kritis untuk mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai perubahan yang lebih baik.
Pengorganisasian dilakukan dengan: 1) membagi-bagi kerja ke dalam tugas-tugas operasional; 2) mengelompokkan tugas-tugas operasional ke dalam posisi operasional; 3) merakit posisi operasional ke dalam satuan-satuan yang berkaitan dan dapat dikelola; 4) menguaraikan secara jelas syarat-syarat dari posisi itu; 5) memilih dan menempatkan individu secara pas dalam berbagai posisi; 6) menggunakan dan menyetujui kewenangan yang tepat bagi setiap anggota manajemen; dan 7) menyediakan fasilitas dan sumber-sumber lain bagi personel.
Dorongan Melakukan Pengorganisasian
Dorongan kehendak memulai pengorganisasian diawali oleh apa yang dapat kita sebut sebagai “paham-bertentangan-secara-sadar” (conscious contrarianism),3 yaitu suatu proses di mana seorang pengorganisir menolak ideologi yang berkuasa dan ingin menggantikannya dengan suatu pandangan dunia baru atau memberi alternatif.
Ada tiga unsur pokok paham-pertentangan-secara-sadar. Pertama, pandangan dunia (world-view). Dalam wawasan ini adanya nilai-nilai politik demokratik yang tak perlu diragukan lagi adalah sesuatu yang khas bagi para pengorganisir rakyat. Nilai-nilai ini mengacu pada ajaran kitab suci agama-agama besar dan tradisi demokrasi yang mencakup keadilan dan kejujuran kepada setiap orang, juga suatu kesediaan berkorban untuk orang lain yang menuntut perlunya tanggung jawab pribadi untuk ikut memecahkan persoalan bersama (Walton 1969).
Para pengorganisir memahami bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab tertentu untuk menjaga dan melindungi yang bernasib rentan; bahwa semua orang memiliki peran-peran penting untuk mengupayakan tercapainya sesuatu yang diidamkan bersama dan mempertahankan pencapaian tersebut; dan bahwa menggalang suatu kekuatan bersama yang memadai adalah cara untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Denyut rangsangan untuk melakukan pengorganisian muncul dari penerimaan seseorang akan adanya tanggung jawab pribadi untuk bekerja secara aktif bersama orang lain dalam rangka mempengaruhi proses perubahan sosial ke arah yang diidamkan bersama, berbeda dengan mereka yang hanya mampu menggambarkan mimpi-mimpi yang tak mungkin tercapai.
Dalam beberapa kasus, pergeseran dari kesediaan berkorban menjadi perlawanan politik bermula justru dari suatu pandangan dunia yang bersifat keagamaan atau yang diilhami oleh ajaran agama (religious world-view). Ini terutama berlaku bagi para pengorganisir yang memiliki latar belakang keagamaan yang kuat atau jamaah dari suatu paham keagamaan tertentu.
Kedua, analisis kekuatan. Menjadi seorang pengorganisir selalu terlibat dalam analisis tentang apa yang salah dengan perilaku dan pemikiran orang lain? Mengapa hal itu terjadi dalam masyarakat kita? Rumusan umum tentang siapa yang diuntungkan dalam masyarakat dan mengapa, selalu dipertanyakan menurut kelas, suku, bangsa, jenis kelamin, dan sebagainya. Tetapi, pendapat umum tentang metode untuk merubahnya adalah “melakukan melalui saluran-saluran yang sudah ada”, dan inilah yang ditentang oleh cara-cara yang menantang para penguasa (Tropton 1985).
Penolakan aktif terhadap banyak nilai dan tradisi umum itulah yang mulai menandai para pengorganisir masyarakat, termasuk palajar, sebagai orang-orang yang khas dan berbeda dari yang lain, sebagai orang-orang yang membagi suatu pandangan dunia baru ke arah yang lebih baik. Inti kekuatan analisis mereka sangat berlawanan dengan apa yang disarankan oleh para penguasa yang menciptakan berbagai aturan yang serba membatasi.
Ketiga, sengaja memilih kerja pengorganisasian. pada tahap ini sang pengorganisir sudah menetapkan untuk menentang nilai-nilai umum yang berlaku, memahaminya sebagai suatu hasil dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidk adil. Mereka telah menggantikan ideologi yang berkuasa dengan pandangan alternatif baru tentang apa yang harusnya menjadi tangung jawab pribadi seseorang demi terjadinya perubahan sosial. Pemahaman inilah yang melahirkan dorongan awal untuk melakukan pengorganisasian pelajar, atau pengorganisasi masyarakat secara umum.
Merujuk pada teori tentang dorongan hasrat (Maslow 1970), perilaku seseorang didorong oleh hasrat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kita sudah merumuskan bahwa salah satu unsure kunci dari dorongan seseorang untuk melakukan pengorganisasin adalah hasrat untuk mencapai nilai-nilai yang diyakini secara pribadi sebagai tujuan utama perubahan sosial yang diinginkannnya.
Dorongan hasrat ini kemudian diikuti oleh teori tentang harapan (Vroom 1964), bahwa keputusan-keputusan (untuk memilih melakukan sesuatu) dibuat atas dasar keinginan untuk mewujudkan harapan-harapan yang telah ditetapkan. Para pengorganisir memang mengharapkan kerja pengorganisasain memiliki peluang besar yang memungkinkan mereka menghasilkan perubahan dan, karena itu, mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan.
Ada beberapa proses seseorang masuk ke dalam dunia pengorganisasian. Pertama, melalui berbagai cara dan jalur. Tidak ada satu penyebab atau kejadian tunggal murni yang sepenuhnya membuat seseorang terlibat dalam proses pengorganisasian. Kedua, beberapa pengalaman menunjukkan adanya apa yang disebut oleh para peneliti sebagai “dampak yang sangat kuat” (sharpness of effect). Mereka yang mengalaminya akan sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman tersebut, dan pengaruh itu berketerusan. Latar belakang keluarga yang aktif dalam kegiatan sosial atau politik, atau pengalaman pribadi mampu mengatasi penindasan, adalah dua contoh yang jelas. Dua faktor ini boleh kita sebut sebagai kejaidan-kejadian utama yang membentuk (primary formative event) dan sangat mempengaruhi keputusan seseorang memasuki dunia pengorganisasaian.
Ketiga, tidak ada garis batas atau titik masuk yang jelas ke dalam dunia pengorganisasian. Karena memang tidak ada ujian saringan masuk ke dalamnya, tak ada jenjang karir yang tegas di dalamnya, bahkan tak ada ketentuan harus memulai tahap apa saja untuk akhirnya disebut sebagai seorang organizer yang “sudah berpengalaman”, atau seorang “pensiunan pengorganisir”. Garis pembeda antara seorang tenaga relawan aktif dengan seorang pengorganisir “professional” nyaris jumbuh dan kabur. Dalam kenyataannya, banyak pengorganisir yang melintasi garis tersebut pada saat mereka sedang melakukan suatu tugas pengorganisasian, bahkan sebelum mereka benar-benar menyadari bahwa mereka sebenarnya “sudah menjadi seorang pengorganisir”.
Ketrampilan dan Langkah-langkah Pengorganisasian
Beberapa ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang organizer antara lain:4 Pertama, pandangan perubahan (change vision atribut), yakni tentang bagaimana seorang pengorganisir memandang dunia ini dalam pengertian politik, cita-cita perubahan sosial yang diidamkannya, pandangannya tentang kekuasaan yang didukung oleh semua jenis ketrampilan teknis maupun ketrampilan berhubungan dengan orang lain. Pandangan perubahan sosial inilah yang menentukan ciri-ciri kepribadian tertentu seorang pengorganisir, seperti keteguhan sikap danpengabdian yang memungkinkannya terus-menerus beruapa mencapai tujuan0tujuan perubahan sosial yang dicita-citakan.
Kedua, Ketrampilan teknis (technical skills). Seorang organizer harus memiliki dua jenis ketrampilan teknis berikut: 1) yang berkaitan dengan penanganan isu yang antara lain adalah kemampuan melakukan analisis isu, menganalisis lawan dan struktur kekuasaan yang ada, kemampuan mengembangkan dan melaksanakan berbagai strategi dan taktik gerakan, kemampuan menilai pencapaian hasil dan sasaran ke arah tujuan akhir perubahan sosial, juga kemampuan dalam melakukan tugas-tugas hubungan kemasyarakatan (public relation) dan berkomunikasi dengan media massa; 2) yang berkaitan dengan efektifitas organisasi, antara lain kemampuan merumuskan, membangun dan mengembangkan suatu struktur kelembagaan yang memadai untuk merekrut dan melibatkan para anggota, kemampuan membentuk dan mengembangkan kelompok-kelompok kerja (panitia aksi, satuan tugas, dewan koordinasi, koalisi dsb), serta kemampuan mencari dana, merencanakan dan mengelola anggaran, melakukan perundingan dan menangani perjanjian, menyelia penugasan, mengalokasikan sumber daya, menyususn perencaaan program dsb). Semua katrampilan teknis ini dimaksudkan untuk mendukung pencapaian tujuan akhir perubahan sosial yang diidamkan sang pengorganisir.
Ketiga, ketrampilan berhubungan dengan orang lain (interactinal skills). Ketrampilan interaksional ini mencakup kemampuan memberi jawaban dan memahami orang lain, kemampuan secara tepat menilai dan bergaul dengan orang lain atau kelompok orang. Termasuk dalam kemampuan ini adalah kemampuan memilih, medidik dan mengembangkan potensi anggota dan pemimpin organisasi. Semua ketrampilan ini dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan perubahan/ sang pengorganisir karena sangat memeberdayakan anggota dan pemimpin organisasi untuk memiliki kekuatan yang diperlukan melalui proses pengorganisasian. Ketrampilan ini dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu pengirim pesan (message sender), penafsir pesan (message interpreter), dan pembagi pesan (message sharer).
Langkah-langkah dalam Pengorganisasian
Setidaknya ada beberapa langlah dalam melakukan kerja pengorganisasian:5
1. Mencari teman. Mencari teman dilakukan untuk mendukung apa yang akan dilakukan dan berbagi tugas dalam pengorganisasaian. Berapa orang? Tergantung kebutuhan, bisa 5, 10 atau 20 orang. Minimal mewakili masyarakat yang menjadi korban.
2. Eksplorasi isu. Langkah ini dilakukan untuk memudahkan pengorganisasian; ada kejelasan apa yang hendak dilakukan; dan menarik kepedualian orang. Eksplorasi isu bisa dilakukan dengan cara: tinggal bersama masyarakat, mendatangi korban (keluhan dan permasalahan yang dihadapi), diskusi yang terfokus, mendalami kasus dll.
3. Menjadikan isu sebagai isu strategis. Mencari isu stratagis; mengumpulkan isu yang sudah dieksplorasi, mengidentifikasi dan membuat prioritas isu yang dianggap paling utama dan berdampak besar terhadap masyarakat; serta menjadikan isu utama sebagai isu strategis dan mendapatkan prioritas penanganan. Upaya ini harus dilakukan bersama kelompok basis.
4. Analisis isu. Analisis dilakukan untuk mempertanyakan isu: Benarkah isu tersebut? Sumbernya dari mana? Siapa yang terlibat? Serta dampak apa yang dirasakan masyarakat?
5. Analisis dukungan: siapa yang mendukung pekerjaan kita? Analisis dukungan bisa dilakukan dengan metode SWOT atau stakeholder analysis: adakah dukungan dari tokoh masyarakat; oknum aparat; agamawan, tokoh adat, LSM dll? Adakah dukungan dari masyarakat? Kekuatan jaringan-jaringan apa yang bisa mendukung?
6. Bangun solusi. Upaya solusi dilakukan untuk membuat kesepakatan bersama; dan memberi jalan untuk memecahkan persoalan. Apakah bisa atau tidak?
7. Membagi peran. Dilakukan agar seluruh komponen yang ada terlibat dalam masalah yang sedang ditangani. Tidak dibenarkan memonopoli peran sehingga yang lain dinafikan; membagi peran untuk menentukan siapa mengerjakan apa? Misalnya lobi, siapa yang mengerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Masing-masing yang bertugas harus membuat rencana kerja serta matrik jadwal, sehingga pada waktu yang telah ditentukan pekerjaan bisa diselelsaikan dengan baik.
8. Melaksanakan aksi. Apa yang diperlukan?: menentukan target, menyiapkan logistik, alat-alat pendukung, data-data yang menopang pekerjaan, menentukan waktu, tempat, perangkat penggerak massa (korlap dll), dan menentukan massa (siapa yang dilibatkan).
9. Evaluasi. Evaluasi kegagalan: kenapa gagal? Apakah karena faktor internal: konsep, strategi, taktik, jaringan, persepsi yang berbeda, koordinasi yang tidak jalan, dan lainnya; atau faktor eksternal: sabotase, jaringan, media massa dan lainnya. Evaluasi keberhasilan: kenapa berhasil? Faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan tersebut. Mungkin dari evaluasi ada perubahan cara, taktik atau pola baru untuk mencapai tujuan pengorganisasian.
Ingat, ini hanya teori. Tidak akan bermanfaat jika tidak kita lakukan. Sebagai organisasi pelajar, IPNU-IPPNU mengemban tugas sejarah ini: menggalang kekuatan pelajar untuk bergerak melakukan perubahan. “Ayo Bergerak…”

Posting Komentar